Menulis: Membuat Sketsa



Menulis juga melibatkan unsur membuat sketsa. Istilah “membuat sketsa” mengandung sesuatu yang sifatnya operatif – atau aktif bekerja. Biarkan kegiatan menulis melakukan “pembuatan sketsa” ini melalui diri Anda. Biarkan kegiatan menulis – melakukan penulisan melalui diri Anda.

Kamu dapat membayangkan dirimu membuat sketsa gambar pohon. Coba bayangkan, apa yang mula-mula kamu lakukan? Kamu mungkin membuat gambar pohon, kemudian batang pohon, dan dahan-dahannya. Baru kemudian dedaunan.

Saat menulis, kamu mungkin merasa “mendengar” atau punya “dorongan” untuk menggambar pohon. Maka lakukan saja. Maka kamu membuat dan menggambar sketsa pohon di lansekap penulisan. Mungkin saja kamu cuma menggambar sebuah pohon kecil pada permulaan. Mungkin saat permulaan kamu tidak tahu mengapa kamu menggambar pohon ini. Dengan tujuan apa pohon ini digambar, kegunaan apa yang diberikan pohon ini, kamu juga belum tahu. Kamu mengikuti dorongan, maka kamu pun menggambarnya.

Kegiatan menulis ini sendiri akan memberikan jawaban, mengapa dan bagaimana gambar pohon ini akan digunakan.

Kamu dapat mengatakan kegiatan menulis yang kamu lakukan adalah, “belajar sambil berjalan…belajar sambil melakukan.” Kegiatan menulis yang sedang kamu lakukan sekarang belum tentu tahu mengapa itu dilakukan. Selama ini pengalaman telah mengajarkan bahwa kamu perlu melakukan, itu saja…pengalaman selama bertahun-tahun telah mengajarkan itu padamu. Kamu yakin dan percaya saja….lalu keyakinan dan kepercayaan ini pun memperoleh imbalan.

Kamu merasa perlu menuliskan…itu saja. Ini berlaku untuk naskah novel & film. Katakan saja, saat menulis novel, di halaman sepuluh kamu menulis sebuah “pistol di meja dapur.” Kamu baru dapat “melihat” apa alasannya belakangan. Mungkin ini adalah semacam “bayangan pendahuluan” tentang apa yang kelak akan ditulis.

Menulis adalah suatu kegiatan yang sifatnya pribadi dan sendirian. Kamu selalu menulis sendirian, namun kamu dapat belajar dari penulis-penulis lain. Kamu dapat memperoleh kiat-kiat dan petunjuk dari mereka. Menulis juga dapat dianalogikan dengan membuat sketsa. Kamu senang menggambar tentang sesuatu, setelah itu menambahkan rinciannya kelak. Kamu menjaga supaya sebisa mungkin kamu tidak melakukan sensor. Kamu hanya menuangkan apa yang saat ini timbul dan datang, dan kamu tahu bahwa masih banyak lagi yang akan timbul. Sketsa awal ini akan menjadi blue print atau “cetak biru” untuk sketsa lain yang lebih baik dan lebih rinci.

Setelah kamu menulis selama waktu tertentu, kamu pun tahu tulisanmu mengarah ke mana. Kamu telah melihat suatu susunan pola tertentu. Kamu tahu, semua gagasan ini mengarah ke mana. Penyadaran ini mungkin dibarengi dengan rasa takut, “Sekarang aku tahu ini semua mengarah ke mana….” Kamu menjadi takut, dan merasa “Aku tidak sanggup menuangkan ini seperti sebelumya….” Ini menandakan egomu sudah terjaga. Egomu tidak membiarkan kamu menulis seperti sebelumnya. Egomu menghendaki kendali dan mengharuskan apa yang kamu tulis sekarang itu bagus menurut selera & kendalinya sendiri.

Pada saat inilah kamu berhadapan dengan “tembok.”
Apa yang terjadi saat kamu berhadapan dengan “tembok.” Saat kamu berhadapan dengan “tembok,” kamu merasa bahwa proyek yang tadinya kamu senang kerjakan, tiba-tiba macet. Keraguan pun menyelinap. Kamu tidak lagi menulis demi kesenangan menulis itu sendiri. Kamu tidak lagi menikmati kesenangan masuk ke kolam dan berkecipak di kolam itu. Tiba-tiba kamu memikirkan ada orang-orang lain yang ada di kolam itu. Kamu mempermasalahkan, apakah mereka “lebih cepat,” “lebih baik,” “lebih kuat,” “lebih pamer.” Saat itu, kamu tidak lagi mencipta, namun “bersaing.”

Bacalah artikel tentang

Kembali lagi ke persoalan membuat sketsa. Ini cuma sebatang pohon. Kamu lalu melanjutkan menggambar beberapa helai daun, yang dilanjutkan dengan kuncup-kuncup bunga. Akhirnya kamu menggambar awal yang lembut mengapung di angkasa. Dalam menulis juga berlaku hal serupa. Kamu hanya perlu mengijinkan dirimu menggambar sedikit demi sedikit. Melakukan “hal yang benar setapak demi setapak – selangkah demi selangkah.” Melakukan satu hal selanjutnya yang harus dilakukan – satu demi satu. Ujung-ujungnya: karyamu akan merekah, bersinar dengan cemerlang.  

Disadur dari:
Cameron, Julia. The Right to Write: An Invitation and Initiation into the Writing Life. New York: Jeremy P. Tarcher/Putnam. 1998. 

Akun FB: Bonifasius Sindyarta
Memberi jasa terjemahan “Inggris – Indonesia & Indonesia – Inggris” yang bermutu dengan harga terjangkau, untuk buku (psikolog populer, motivasi, pengembangan diri, novel, dll), berbagai artikel ilmiah & non ilmiah.
Anda dapat menghubungi saya lewat email di: bsindyarta@yahoo.com

Komentar