Anda pasti pernah menderita. Penderitaan pasti bukan hal asing bagi Anda. Semua orang pasti pernah menderita. Tidak ada kehidupan yang tanpa mengandung penderitaan. Hanya saja, setiap orang mengalami taraf penderitaan yang berbeda-beda. Sebagian orang memang lebih menderita daripada yang lain. Namun, semua orang pasti pernagh menderita, tanpa kecuali. Artikel kali ini akan membahas tentang bagaimana memaknai penderitaan, dan bagaimana menggunakan penderitaan itu demi kebaikan diri kita, untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Penderitaan yang dimaknai dengan tepat dapat berguna bagi kita untuk menumbuhkan taraf kedewasaan kita sebagai manusia, selain itu menghantar kita untuk mengalami evolusi spiritual, naik ke taraf kesadaran lebih tinggi. Dengan kata lain, orang itu bisa belajar untuk memandang penderitaan dari “lensa” yang lain. Penderitaan dapat dipandang sebagai “Sang Guru yang Tersamar.”
Kita mungkin memang tidak bisa
menghilangkan penderitaan, namun kita bisa mengubahnya. Gede Prama bahkan
mengatakan bahwa penderitaan adalah “pupuk” bagi jiwa, dan bukan “racun” bagi
jiwa. Penderitaan dapat mengangkat jiwa, membuatnya ber-evolusi naik ke
tingkatan yang lebih tinggi. Pupuk di tangan seorang yang mementingkan
sterilitas dan sanitasi tidak lebih dari kotoran hewan yang merugikan dan perlu
disingkirkan. Namun pupuk yang sama, di tangan seorang tukang kebun, dapat
memberi “makan” dan menyuburkan tanaman. Ini adalah soal perspektif dan cara
menyikapi, sehingga membuahkan efek berbeda dari orang yang mengalami
penderitaan.
Ada orang-orang yang jadi semakin kejam, pahit, mementingkan diri sendiri, dendam, dan semakin terpuruk ke dalam kehancuran, namun sebagian orang lain malah dibuat menjadi semakin ramah, rendah hati, sabar, dan baik, sehingga ini mendorong orang lain untuk mendekat pada mereka, dan disembuhkan olehnya.
Biasanya, orang marah karena ia
hidupnya menderita, karena penderitaan ini rupanya telah menghalangi ia untuk
memperoleh apa yang ia inginkan. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Kehidupan
ideal yang berjalan menurut keinginan dan kemauannya. Penderitaan rupanya
menghalangi orang untuk memperolehnya, maka orang pun marah, dan mengutuki
penderitaannya. Sebagai akibatnya penderitaannya juga balas mengutuki dia,
membuatnya semakin menderita dan terpuruk semakin dalam ke lobang penderitaan
dan kehancuran.
Biasanya ada dua macam respons orang
dalam menyikapi penderitaan secara negatif. Respons pertama adalah, seperti
disebutkan di atas, yakni menjadi marah atau membenci secara luar biasa,
berusaha mati-matian untuk “menang” atas orang atau keadaan yang menurut
anggapan atau persepsinya telah membuatnya menderita. Orang-orang ini bahkan
bersedia menjalani “pertempuran panjang” atau bahkan “pertempuran seumur hidup”
demi “menang: dari sesuatu (orang dan keadaan – people and circumstances) yang
telah dianggap menimbulkan penderitaan besar yang terus ia tanggung sampai
sekarang. Ia berpeluang dikutuki oleh penderitaannya, alih-alih diberkati oleh penderitaanya.
Bukan mustahil sikap ini akan membuahkan kehancuran dan keterpurukan dalam
kehidupan pribadi dan profesional.
Respons kedua dalam menyikapi
penderitaan secara negatif adalah lewat menyangkalnya. Orang yang berusaha
menyangkal penderitaannya boleh jadi akan mencari hal lain, untuk mengalihkan
pikirannya dari penderitaan. Ini bisa saja ia menjadi makan berlebihan,
terlibat kegiatan adiktif, mis. dikuasai oleh pornografi, menjadi workaholik,
kecanduan menonton televisi, kecanduan berbelanja, dan masih banyak lagi. Ini hanya beberapa bentuk-bentuk pengalihan
karena sikap menyangkal penderitaan. Hasil lain dari sikap menyangkal dari
penderitaan adalah hidup dalam alam impian, hidupnya tidak mendarat ke bumi dan
tidak mau menghadapi “beratnya penderitaan dalam cakupan realita kehidupan
sehari-hari” Ini adalah dua cara meresponi penderitaan secara negatif.
Respons yang ketiga adalah respons
yang sebaik-baiknya dalam menghadapi penderitaan, yakni dengan cara
merengkuhnya, dan diberkati oleh penderitaan ini, alih-alih dikutuki olehnya.
Respons semacam ini akan membuat orang yang diterjang bahkan dihempas oleh
penderitaan, menjadi pribadi yang semakin baik. Ini adalah sikap berserah,
namun bukan artinya “pasrah” membiarkan diri ditindih oleh penderitaan. Namun,
ini adalah sikap berserah pada Tuhan atau pada Kekuatan yang Lebih Tinggi, di
tengah-tengah penderitaan, dan membiarkan penderitaan ini mengubahkan diri
orang tersebut menjadi pribadi yang lebih baik, bahkan semakin menumbuhkan
kapasitas dalam dirinya untuk menyembuhkan orang lain yang tertimpa kemalangan
dan telah menjalani penderitaan berkepanjangan.
Memaafkan adalah sikap yang sangat penting dan elemen vital dalam respons ini. Memaafkan juga artinya “bersedia melepaskan beban penderitaan, bersedia untuk let go” ini berdampingan dengan sikap berserah pada Tuhan (Kekuatan yang Lebih Tinggi). Ini bukan artinya pasrah dan menyerah pada keadaan. Memaafkan yang dibarengi dengan sikap berserah artinya adalah “let go and let God.” Ini artinya membiarkan Tuhan bekerja dalam diri kita dan membiarkan diri kita diubahkan oleh-Nya, tanpa mau memaksakan cara dan keinginan kita sendiri.
Selain memaafkan, sikap lain yang
dapat dianut adalah merelakan. Merelakan di sini juga merupakan bagian dari
sikap berserah dan mengosongkan diri, agar Tuhan dapat mengaliri Anda dengan
kekuatan-Nya, dengan energi-Nya. Ini memang membutuhkan ketekunan. Apakah Anda ssekarang
sedang bergumul dan memikul beban penderitaan karena ada orang-orang yang Anda menurut
anggapan atau persepsi Anda pernah atau sedang merugikan, menindas, dan tidak
rela Anda berkembang maksimal dan mengaktualisasikan potensi-potensi Anda?
Maafkan dia dan relakan dia. Ini adalah sikap berserah (mengosongkan diri),
yang dibarengi dengan sikap memaafkan.
Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh
lagi, Anda dapat merelakan dia “lebih” dalam segala-galanya daripada Anda.
Lebih bahagia, lebih kaya, lebih tenar, lebih dikagumi orang, lebih berkembang,
dan lebih ter-aktualisasi potensi-potensinya (dengan perkataan lain, relakan
dan ijinkan dia lebih “berhasil” dalam kehidupan ini dalam artian yang
sesungguhnya, ijinkan orang-orang ini menjadi pribadi yang sebaik-baiknya
semaksimal mungkin seperti maksud Tuhan menciptakan mereka). Ini adalah sikap
mengosongkan diri yang dibarengi dengan memberi kebaikan tanpa pamrih. Kalau
Anda melakukan ini dengan setulusnya, maka maka ada beban besar terlepas dari
diri Anda. Beban untuk “menang, lebih, dan unggul” daripada orang lain. Beban,
“Aku harus menjadi yang terbaik dan nomor satu, paling utama dan paling unggul,
kalau perlu dalam segala hal, dibanding orang lain.”
Selain itu, Anda dapat melihat penderitaan
sebagai “Sang Guru yang Tersamar.” Apa yang diajarkan oleh “Sang Guru” ini pada
Anda. Apakah ini mengajar agar Anda lebih rendah hati, tabah, rela memaafkan,
mengosongkan diri dan berserah. Pelajaran lain apa yang dapat Anda petik dari
sang Guru Penderitaan ini?
Seperti tadi telah disebutkan bahwa salah satu respons orang terhadap penderitaan adalah dengan menyangkalnya. Apa yang ia sangkal? Yang ia sangkal di baliknya adalah kehidupan impian seperti yang ia dambakan. Penderitaan ini telah membuat impiannya kandas, atau setidaknya membuat impiannya tertunda. Sekali lagi, sikap yang sebaiknya dianut di sini adalah mengosongkan diri dan berserah, tidak memaksakan kehidupan berjalan persis sesuai keinginan dan kemauan Anda. Lepaskan diri Anda dari beban untuk memaksakan keadaan berjalan menurut keinginan Anda. Juga melepaskan beban keinginan untuk menghendaki impian-impian Anda terwujud dan doa-doa Anda terkabul persis menurut keinginan Anda.
Sikap berserah dan mengosongkan diri
yang dibarengi oleh sikap bersyukur dan berharap di tengah-tengah penderitaan,
di mana nampaknya tidak ada solusi, atau kemungkinan harapan dan keinginan Anda
bakal terwujud, saat impian-impian Anda kandas atau tertunda, adalah sikap yang
memampukan Anda tetap bertekun bertahan menjalani semuanya ini. Anutlah sikap
ini sambil menuliskan sebuah bab baru dalam “Buku Kehidupan” Anda. Belajarlah
untuk merasa bahagia dan tetap tenang di tengah-tengah tekanan situasi, sambil
berharap, sekaligus berserah, bahkan memberikan diri Anda tanpa pamrih. Ini
adalah tantangan sikap pengosongan diri ke tingkat lebih tinggi. Sikap ini
menghantar seseorang untuk mengalami evolusi spiritual, naik ke tingkat
kesadaran lebih tinggi. Lakukan ini dengan fokus pada Tuhan, di tengah tekanan
situasi apa pun, di tengah-tengah penderitaan apa pun. Biarkan energi Tuhan
mengaliri diri Anda, memberi kekuatan dan ketenangan.
Juga ada satu lagi sikap yang boleh Anda coba, maka sikap itu adalah “melupakan masa lalu beserta segudang beban kenangan pahitnya,” sehingga beban Anda semakin berkurang, memampukan Anda untuk “move on.” Pikiran Anda pun jadi lebih ringan & jernih. Anda mampu untuk berpikir lebih baik menghadapi tugas di depan mata yang perlu Anda kerjakan dan bereskan saat ini. Anda lebih diringankan untuk move on, untuk maju setiap hari menjalani kehidupan seperti yang Anda impikan selama ini, sambil meraih impian-impian yang telah Anda canangkan di depan, namun sampai sekarang belum tergenapi. Mungkin melupakan segudang kenangan pahit memang sulit, maka mungkin yang lebih mudah adalah, usahakan untuk “berdamai” dengan masa lalu, beserta segudang kenangan pahitnya.
Berdamailah dengan kenangan-kenangan pahit masa lalu, dengan gambaran diri yang timbul oleh kenangan-kenangan pahit ini. Perasaan terhina, kalah, dan terluka. Melupakan dan berdamai dengan itu semua bukan artinya menyangkalnya, namun lebih merupakan sikap penerimaan. Menerima bahwa ini semua memang bagian tak terelakkan dari kehidupan, dan konsekuensi menjalani kehidupan di bumi sebagai manusia. Ijinkan diri Anda “diberkati” oleh penderitaan dan kenangan-kenangan pahit masa lalu, dan bukan “dikutuk” olehnya. Ijinkan diri Anda “menjadi berkat” dan menjadi kesembuhan bagi orang lain, karena telah melalui semuanya ini, dan bukan malah semakin menambah berat beban penderitaan orang lain,” bahkan meski mereka akan meraih kehidupan impian seperti yang Anda dambakan selama ini, sedangkan kehidupan impian itu lepas dari genggaman Anda sendiri….belajarlah untuk let go & let God. Dengan ini semua, Anda memberi kesempatan dan memudahkan jalan orang lain untuk menjadi pribadi yang semakin baik.
Diolah dari
“You’re Stronger Than You Think – The Power to Do What You Feel You Can’t”
by Dr. Les
Parrott
oleh
Boni Sindyarta, Psi Apakah Anda saat ini sedang merasa terbebani oleh penderitaan? Mungkin saya bisa membantu...
Kalau Anda bersedia, silahkan menghubungi saya di: bsindyarta@yahoo.com
Komentar